Sabtu, 17 Maret 2018

Menulis Tentang Teman




Konsisten menulis on time ternyata susah juga, setelah kemarin absen, akhirnya pagi ini saya dapat tugas menulis dari sekolah @30haribercerita tentang teman. Apalagi awalan intro tema hari ini tentang friendster, sosial media paling hits zaman saya masih pakai seragam putih biru.

Ngomongin seragam putih biru, saya ingat saya punya pengalaman lucu tentang teman saya yang akhirnya saya sesali tapi jadi pelajaran juga.

Namanya Eky. Lengkapnya Eky Wahyu Febrianto. Seisi kelas kerap kali memanggilnya dengan Basuki, nama bapaknya. Walaupun saya nggak pernah secara eksplisit memanggilnya langsung dengan nama Basuki tapi di belakangnya saya mengamini apa yang anak - anak lakukan.

Sekelas menganggapnya sebagai maskot. Sebab dia berbeda sendiri dari kita semua. Saat itu badannya memang nampak mungil. Saya tidak tahu pasti sih, berapa tingginya saat itu, tapi yang saya ingat, tinggi saya sekitar 150cm dan dia lebih pendek dari saya.

Semakin bertambah ejekannya, karena hanya dia satu - satunya siswa laki - laki yang tidak pernah protes ketika dibawakan bekal makan siang oleh ibunya. Ya, setiap hari! Dan dipastikan pasti habis. Bukan berarti anak laki - laki yang lain tidak bawa ya, tapi pokoknya tidak sesering Eky. Sayangnya, setiap dia dibekali nugget goreng oleh ibunya, seringkali ia tidak kebagian sebab tangan - tangan kami dengan sigap memintanya secara paksa, hahahaha, padahal kami sendiri juga sudah bawa bekal kami masing - masing. Akhirnya yang tersisa hanya nasi putih tanpa lauk 😆. Saya tidak tahu, bagaimana akhir nasib dari si nasi putih tadi.

Entah kenapa, saya jarang menemui Eky merasa tersinggung atau dalam kondisi benar - benar marah ketika diperlakukan begitu. Malah marahnya dia kami anggap lucu. Termasuk saya, ketika melihatnya marah, saya kok malah tertawa.

Akhirnya terbentuklah sebuah pemahaman di kepala saya, Eky orangnya sabar dan lucu. Sesulit apapun atau setersinggung apapun, dia tidak pernah meresponnya berlebihan. Dibawa asik aja.
________________

Lama setelah lulus lulusan SMP, sudah jarang bertemu Eky kecuali reuni sebab dia meneruskan SMA nya di kota sebelah, Krian, 😅 (Eh aku bener kan, itu luar kota, iya kan ky?)

Tapi mungkin itu yang katanya namanya teman, sejauh apapun, selama apapun nggak kontak, yang benar - benar tulus itu yang akan tinggal, katanya sih gitu.

Saya dan Eky kembali aktif mengobrol ketika sudah di bangku kuliah, semakin sering ketemu sejak saya tahu, sepupunya Eky itu juga teman SD dan les saya, salah satu murid kesayangannya mama dan sejak ada adik tingkatnya Eky di kampus yang bikin hidup saya sempat jungkir balik #eh, intinya jadi makin banyak topik yang bisa kami obrolkan.

Dari Eky juga saya banyak belajar tentang bagaimana kesabaran yang tulus itu akan membuahkan hasil, seingat saya, dia tidak mengalami kesulitan yang berarti sampai akhirnya sekarang dia sudah diangkat sebagai pegawai negeri.

Sabar. Tulus. Ikhlas. Itu kunci hidup bahagia saya pikir, dan Eky bukan hanya belajar, tapi langsung mengaplikasikannya dalam hidup. Termasuk teman saya yang hidupnya nggak neko - neko, walaupun tawaran hidup neko - neko sering datang.

Dan pada akhirnya, teman yang baik adalah teman yang selalu membuat kita belajar tanpa membuat kita merasa diajari, yang menerima bagaimana proses belajar kita yang jungkir balik dan tidak sama seperti mereka. Teman yang baik adalah yang bisa membuat kita tertawa lepas persis seperti yang sudah Eky lakukan, padahal dia ga niat ngelucu juga. Tapi bahkan saat saya nulis ini, saya nggak bisa berhenti tertawa.
_____________________

p.s : Saya cuma nyesel saya dulu pernah ikut ketawa saat yang lain menghina tubuhnya yang kecil mungil, soalnya ternyata dia sekarang lebih tinggi dari saya, oh no.... 😓

Tidak ada komentar:

Posting Komentar