Senin, 20 Juli 2020
Movie Review : Susah Sinyal (2017)
Selasa, 07 Juli 2020
Resensi Film : Dua Garis Biru (2019)
Film ini disutradarai oleh Gina S Noer yang sekaligus menuliskan skenarionya. Sebuah cerita sederhana yang sangat relatable dengan kehidupan remaja masa kini. Film ini juga mengingatkan saya pada film Juno yang bertema sama namun kali ini di balut dengan nuansa yang lebih Indonesia.
Ketika di film Juno, kedua pasangan muda mudi tersebut memutuskan untuk tidak menikah dan menyerahkan anaknya kepada orang lain untuk di adopsi, Di film ini, akhirnya, anaknya diputuskan untuk di asuh oleh kakek nenek dari pihak Ayahnya, yakni orangtua Bima.
Film yang sempat jadi kontroversi karena di boikot di beberapa kota, sesungguhnya sebuah film yang menampilkan edukasi yang baik kepada remaja dan juga orangtua. Sebab dalam film ini dibahas banyak hal dari mulai segi kesehatan fisik dan mental bagi pasangan remaja yang terlanjur melakukan hubungan seks diluar nikah. Aborsi tentu bukan jalan keluar sebab beresiko kematian juga bagi sang Ibu, apalagi jika dilakukan bukan dengan tenaga profesional.
Selain itu, film ini juga membahas bagaimana sebaiknya keluarga menyikapi masalah ini. Mengelola emosi diri sendiri maupun kepada pasangan ataupun kepada anak mereka. Sebagai pengingat, perempuan yang sedang hamil seharusnya menghindari kondisi stres agar perkembangan bayinya sehat.
Dalam film ini, kedewasaan dalam menghadapi suatu masalah terlihat dari orangtua Bima yang meski tergolong keluarga miskin, ia masih mau merawat dan menganggap anak tersebut sebagai cucunya dan berusaha untuk tidak memisahkan anak kandung dari orang tua kandungnya.
Di sisi lain, ketidakdewasaan dalam menghadapi masalah ditunjukkan oleh keluarga Dara yang nampak ingin sekali memisahkan Dara dengan anaknya dengan cara mengadopsikan anak Dara kepada saudaranya yang sudah lama menikah dan tidak memiliki anak. Di kepala orangtua Dara adalah semua demi kebaikan Dara tanpa pernah mempertimbangkan apakah di mata Dara berpisah dari anaknya juga hal yang dia inginkan.
Saya sebagai penonton
akhirnya menyimpulkan bahwa selama ini banyak sekali anak - anak yang terlahir
dengan kondisi tidak di inginkan bukan hanya karena ketidaksiapan mental dari
calon orang tua, tetapi, juga karena terbentur oleh faktor keegoisan keluarga
besar atas keinginannya. Padahal dengan kedewasaan emosi, masalah seperti ini
bisa teratasi bagi remaja tersebut, juga bagi keluarga remaja. Bila terjadi
kejadian seperti ini, yang harus diselamatkan adalah Calon Ibu dan Calon Bayi.
Disamping itu, film ini
juga mengedukasi bahwa kehamilan di usia yang masih sangat muda akan lebih
membawa banyak resiko. Sebisa mungkin hindarilah untuk berada pada posisi itu,
sebagai contoh dengan menggunakan kondom agar kehamilan dini bisa dicegah.
Menonton film ini tidak di sarankan jika hanya menonton dari sebagian film saja, karena nanti akan menimbulkan kesalahpahaman sepihak. Film ini sangat bagus untuk dijadikan bahan diskusi.
Sabtu, 27 Juni 2020
Resensi Film : Pariban ; Idola Dari Tanah Jawa (2019)
Resensi Film : Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020 | #NKCTHI)
Senin, 15 Juni 2020
Resensi Film : Something In Between (2018)
Selasa, 09 Juni 2020
Resensi Film : Mantan Manten (2019)
Jumat, 05 Juni 2020
Resensi Film : Hijab (2015)
DATA FILM
Judul
: Hijab
Sutradara : Hanung Bramantyo
Durasi
: 1 jam 42 menit
Pemain : Zaskia Adya Mecca, Carissa Puteri, Tika Bravarani, Natasha Rizki,
Mike
Lucock, Nino Fernandez, Omesh, Dion Wiyoko
Tahun tayang : 2015
SINOPSIS
Bia, Tata, Sari, dan
Anin merupakan sahabat yang rutin mengadakan arisan diikuti suami dan pacar
mereka. Ketiga dari mereka, kecuali Anin, hidup sebagai ibu rumah tangga dan
juga mengenakan hijab karena alasan berbeda.
Bia (diperankan
oleh Carissa Putri) mulai berhijab karena mengikuti seminar
peningkat iman. Karena merasa salah kostum di hari kedua seminar dia memutuskan
untuk datang mengenakan hijab. Tidak disangka, saat masuk ke tempat seminar dia
disambut gembira oleh pembicara dan para peserta, bahkan ada yang membuat video
dirinya dan reaksi orang-orang yang kemudian jadi viral. Sejak saat itu, dia
dipanggil sebagai ‘Gadis Hidayah’ dan mendesain baju serta hijabnya sendiri
agar nyaman dipakai.
Awalnya, Sari
(diperankan oleh Zaskia Adya Mecca) mengenakan hijab untuk belajar
cara berbisnis barang-barang impor dari Arab. Dalam usahanya itu, dia bertemu
dengan Gamal (diperankan oleh Mike Lucock) yang memiliki keturunan
dan adat Arab. Setelah menikah dengan Gamal, Sari mulai mengenakan hijab syar’i
dan tidak melanjutkan bisnisnya. Sedangkan Tata (diperankan oleh Tika Bravani),
mengenakan hijab untuk menutupi botak di tengah kepalanya. Anin (diperankan
oleh Natasha Rizki) adalah satu-satunya dari mereka yang tidak
berhijab dan belum menikah. Walaupun begitu, pacarnya, Chaky (diperankan
oleh Dion Wiyoko) ikut turut menghadiri acara arisan dia dengan
ketiga temannya.
Mereka bertekad
memulai bisnis fashion karena Gamal berpendapat kalau arisan
yang mereka adakan merupakan arisan suami karena uang yang digunakan mereka
diberi dari suami. Ucapan Gamal ini membuat mereka berempat bertekad memulai
bisnis fashion. Dengan bantuan sosial media dan modal dari teman
Mama Anin, bisnis yang mereka kembangkan mulai terkenal dan sukses bahkan
berhasil membuka butik sendiri. Akan tetapi, Sari dihadapi kenyataan bahwa
suaminya melarang dia bekerja. Begitu juga Tata yang karena kesibukannya
mengurusi bisnis jadi melupakan tugasnya sebagai ibu. Suami Bia (diperankan
oleh Nino Fernandez) juga merasa dirinya terancam karena kesuksesannya.
Sedangkan, Anin terbutakan impiannya akan segala sesuatu mengenai Paris hingga
melupakan teman-temanya yang dilanda masalah.
Apakah dengan bisnis
yang mereka mulai ini membuat persahabatan dan rumah tangga mereka hancur? (Dikutip
dari viu.com)
RESENSI
Pada awalnya, aku berpikir bahwa ini
hanya sekedar film yang menceritakan kisah tentang perjalanan hijrah perempuan
dari yang tidak berjilbab menjadi berjilbab. Manakala cerita yang seperti itu
sudah amat sangat mainstream di pasaran dan lama kelamaan tidak lagi menarik.
Namun, melihat siapa sutradaranya, hati kecil ini berkata, tentu ini bukan film
biasa, pasti ada pesan baik tersirat maupun tersurat yang ingin di sampaikan,
apalagi pemainnya juga tidak bisa di pandang sebelah mata, lalu aku mencoba
googling, dan voila! Aku menemukan beberapa artikel yang mengabarkan berita
bahwa film hijab di boikot oleh sebagian umat muslim yang merasa terprovokasi
karena hanya menonton trailer filmnya saja. Dimana, meskipun judul filmnya
hijab, tetapi tetap dibalut oleh kehidupan ibukota yang glamor dan juga
berdekatan pula dengan minuman memabukkan. Padahal sejatinya, inilah yang
memang ingin di angkat oleh sang sutradara, kehidupan para muslimah di kota
urban yang dalam konteks film kali ini adalah ibukota Jakarta. Bila berbicara
tentang kota Jakarta tentu yang terlintas adalah kehidupan malam dan bebasnya
yang mudah di akses. Sutradara film ini, Hanung Bramantyo ingin menyampaikan
sebuah pesan anti – mainstream, pesan nilai kehidupan yang tidak bisa di amini
oleh semua pihak umat muslim tentang kehidupan muslimah urban Jakarta dalam
memaknai hijab dalam hidup mereka.
Pertama kali menonton filmnya, aku
hanya sekedar menikmati filmnya, kedua kali menonton, aku mulai bertanya,
tentang perbedaan berbagai jenis hijab yang di kenakan oleh perempuan
indonesia, dari mulai hijab jenis turban, hijab jenis syari, hijab jenis bergo
dan lain – lainnya yang sangat fashionable.
Setelahnya
aku menonton video podcast milik Deddy Corbuzier yang tayang pada 15 Januari
2020 berjudul “Kontroversi Jilbab, Ibu Sinta Nuriyah mengenang Gus Dur”. Dalam
video tersebut, aku menemukan perbedaan mendasar apa arti hijab dan jilbab.
Jilbab adalah penutup yang terbuat dari benda tipis seperti kain, sedangkan
hijab adalah penutup yang terbuat dari benda keras seperti kayu. (Dalam hati
aku sendiri sesungguhnya bertanya, mengapa orang – orang sekarang lebih
menyukai menggunakan istilah hijab ya?) Di video itu pula di jelaskan bahwa
apabila mengajarkan agama itu boleh – boleh saja menggunakan pendekatan budaya.
Contohnya adalah walisongo dan ternyata metode pendekatan itu berhasil. Video
ini berhasil menguatkan keyakinanku bahwa hijab (disini aku menggunakan istilah
hijab karena mengikuti judul film nya saja ya, meskipun sesungguhnya makna yang
ku maksud adalah kain penutup kepala.) bisa memiliki bentuk yang berbeda – beda
itu karena adanya pengaruh dari budaya.
Lalu,
setelah nonton filmnya untuk yang ketiga kali, aku mengerti bahwa, di Indonesia
kini, berhijab bukan lagi milik orang yang agamanya sudah baik saja, tetapi
hijab adalah fenomena baru di kalangan masyarakat masa kini yang menggantikan
keberadaan sanggul dan konde. Hijab adalah milik semua muslimah, karena dengan
menggunakan hijab akan membuat dirinya merasa mampu memahami agama dengan lebih
baik lagi. Jadi, bisa disimpulkan bahwa masyarakat yang menggunakan hijab akan
memulai awal langkah hijrahnya dengan merubah penampilan menggunakan hijab.
Apabila
muncul fenomena bahwa perempuan berhijab tetapi kok masih begini dan masih
begitu ya mohon dimaklumi, karena mereka juga sedang dalam proses pada sebuah
perjalanan baru, bila ditemukan kesalahan itu wajar, yang penting, setelah
kesalahan tersebut, harus berusaha memperbaiki diri, bukan malah sengaja
menjerumuskan diri.
Itu semua tercermin dalam tiap
adegan demi adegan, yang ada di film hijab besutan sutradara hanung bramantyo.
Berhijab itu bukan akhir, tetapi ia adalah awal dan proses itu sendiri dalam
kehidupan. Seberapa panjang atau pendeknya proses tentu tergantung masing –
masing manusia. Semua ada tentu untuk menguji kemantapan hati manusia itu
sendiri. Apakah ia akan tetap menggunakan hijabnya dan tetap berpegang teguh
pada prinsip awalnya menggunakan hijab yakni langkah awal dalam berhijrah
menjadi lebih baik atau tidak.
Sedang bagi saya sendiri, ada satu
makna tersirat khusus bahwa menggunakan hijab tak serta merta merubah diri kita
serupa dengan orang arab atau malah berusaha mearabisasi diri kita dengan
sengaja meninggalkan kebudayaan kita sendiri dan mengikuti semua budaya arab. dan
mudah menyalahkan muslimah yang hijabnya dan kehidupan setelah berhijabnya
tidak sama seperti dirinya. Hijab, bukan milik orang arab saja, hijab, adalah
milik semua perempuan muslimah, hijab adalah identitas seorang perempuan
muslimah. Mau menggunakan hijab jenis apapun, selama itu menutupi aurat yang
bersangkutan, maka itu sudah cukup.
Terakhir, sebagai penutup resensi, film ini ingin menjelaskan bahwa sejatinya penampilan seseorang tentu tidak bisa di jadikan tolak ukur bagi keimanan, isi hati dan isi pikiran. Tetapi dari penampilan juga lah, seseorang mampu menjaga batas – batas untuk fisik dan pikirannya sendiri sebagai pijakan awal langkah hijrah berikutnya. Hijab milikmu adalah pijakan awalmu untuk menuju hijrah kehidupan yang selanjutnya. Tidak ada yang benar ataupun salah, segalanya adalah proses, maka biarlah Allah saja yang menentukan hasil atas usaha yang yang kamu lakukan (Mengutip dari ucapan Gus Miftah di video podcast Deddy Corbuzier berjudul “Gus Miftah :Hati – Hati!! Paham Sesat Cross Hijabers Masuk Indonesia!”)
Nina Mau Resensi Film
Selama masa pembatasan
sosial berskala besar atau yang biasa disebut dengan PSBB yang diterapkan oleh
pemerintah Indonesia dalam menanggulani penyebaran covid-19 yang meminta
masyarakat untuk #dirumahaja dan #workfromhome.
Bagi saya yang
sesungguhnya sangat nyaman untuk berada di satu tempat dalam jangka waktu yang
lama pun, ternyata tetap tidak bisa menghindarkan diri saya dari perasaan
bosan. Mungkin itu semua disebabkan karena berada di satu tempat dalam makna
yang sesungguhnya, rumah. sedangkan apabila saya berada di suatu tempat untuk
waktu yang lama, tentu saja tidak hanya di rumah saja, saya akan pergi ke suatu
tempat dan suatu tempat yang lainnya, masih bergerak, bukan sekadar dapur,
ruang tamu, kamar, dan dapur lagi, hehe,
Nah, masalahnya, tidak
setiap orang memiliki rumah yang sangat luas dan nyaman seperti rumah Nia
Ramadhani, misalnya, sehingga, meskipun di rumah saja namun serasa sedang
tinggal di hotel.
Itu sebabnya, kegiatan
menonton film secara streaming di aplikasi penyedia layanan nonton film (dalam
hal ini, saya menggunakan viu.com sangat menarik sekali.) Setidak –tidaknya
membantu mengurangi kadar bosan selama kami tidak bisa kemana – mana.
Saya menemukan beberapa
hal menarik dari film yang saya tonton, dan ingin sekali membahasnya, walaupun
mungkin, film ini bukan film baru, tetapi ada pesan yang ingin ditujukan kepada
penonton.
Untuk itu, di postingan
selanjutnya dalam blog ini, akan saya isi resensi film yang sudah saya tonton
selama psbb di aplikasi penyedia layanan nonton film streaming, selamat
membaca, selamat menikmati J