Jumat, 05 Juni 2020

Resensi Film : Hijab (2015)

 

 

DATA FILM

Judul               : Hijab

Sutradara         : Hanung Bramantyo

Durasi              : 1 jam 42 menit

Pemain             : Zaskia Adya Mecca, Carissa Puteri, Tika Bravarani, Natasha Rizki,

               Mike  Lucock, Nino Fernandez, Omesh, Dion Wiyoko

Tahun tayang    : 2015


SINOPSIS

Bia, Tata, Sari, dan Anin merupakan sahabat yang rutin mengadakan arisan diikuti suami dan pacar mereka. Ketiga dari mereka, kecuali Anin, hidup sebagai ibu rumah tangga dan juga mengenakan hijab karena alasan berbeda.

 

Bia (diperankan oleh Carissa Putri) mulai berhijab karena mengikuti seminar peningkat iman. Karena merasa salah kostum di hari kedua seminar dia memutuskan untuk datang mengenakan hijab. Tidak disangka, saat masuk ke tempat seminar dia disambut gembira oleh pembicara dan para peserta, bahkan ada yang membuat video dirinya dan reaksi orang-orang yang kemudian jadi viral. Sejak saat itu, dia dipanggil sebagai ‘Gadis Hidayah’ dan mendesain baju serta hijabnya sendiri agar nyaman dipakai.

 

Awalnya, Sari (diperankan oleh Zaskia Adya Mecca) mengenakan hijab untuk belajar cara berbisnis barang-barang impor dari Arab. Dalam usahanya itu, dia bertemu dengan Gamal (diperankan oleh Mike Lucock) yang memiliki keturunan dan adat Arab. Setelah menikah dengan Gamal, Sari mulai mengenakan hijab syar’i dan tidak melanjutkan bisnisnya. Sedangkan Tata (diperankan oleh Tika Bravani), mengenakan hijab untuk menutupi botak di tengah kepalanya. Anin (diperankan oleh Natasha Rizki) adalah satu-satunya dari mereka yang tidak berhijab dan belum menikah. Walaupun begitu, pacarnya, Chaky (diperankan oleh Dion Wiyoko) ikut turut menghadiri acara arisan dia dengan ketiga temannya.

 

Mereka bertekad memulai bisnis fashion karena Gamal berpendapat kalau arisan yang mereka adakan merupakan arisan suami karena uang yang digunakan mereka diberi dari suami. Ucapan Gamal ini membuat mereka berempat bertekad memulai bisnis fashion. Dengan bantuan sosial media dan modal dari teman Mama Anin, bisnis yang mereka kembangkan mulai terkenal dan sukses bahkan berhasil membuka butik sendiri. Akan tetapi, Sari dihadapi kenyataan bahwa suaminya melarang dia bekerja. Begitu juga Tata yang karena kesibukannya mengurusi bisnis jadi melupakan tugasnya sebagai ibu. Suami Bia (diperankan oleh Nino Fernandez) juga merasa dirinya terancam karena kesuksesannya. Sedangkan, Anin terbutakan impiannya akan segala sesuatu mengenai Paris hingga melupakan teman-temanya yang dilanda masalah.

 

Apakah dengan bisnis yang mereka mulai ini membuat persahabatan dan rumah tangga mereka hancur? (Dikutip dari viu.com)

 

RESENSI

            Pada awalnya, aku berpikir bahwa ini hanya sekedar film yang menceritakan kisah tentang perjalanan hijrah perempuan dari yang tidak berjilbab menjadi berjilbab. Manakala cerita yang seperti itu sudah amat sangat mainstream di pasaran dan lama kelamaan tidak lagi menarik. Namun, melihat siapa sutradaranya, hati kecil ini berkata, tentu ini bukan film biasa, pasti ada pesan baik tersirat maupun tersurat yang ingin di sampaikan, apalagi pemainnya juga tidak bisa di pandang sebelah mata, lalu aku mencoba googling, dan voila! Aku menemukan beberapa artikel yang mengabarkan berita bahwa film hijab di boikot oleh sebagian umat muslim yang merasa terprovokasi karena hanya menonton trailer filmnya saja. Dimana, meskipun judul filmnya hijab, tetapi tetap dibalut oleh kehidupan ibukota yang glamor dan juga berdekatan pula dengan minuman memabukkan. Padahal sejatinya, inilah yang memang ingin di angkat oleh sang sutradara, kehidupan para muslimah di kota urban yang dalam konteks film kali ini adalah ibukota Jakarta. Bila berbicara tentang kota Jakarta tentu yang terlintas adalah kehidupan malam dan bebasnya yang mudah di akses. Sutradara film ini, Hanung Bramantyo ingin menyampaikan sebuah pesan anti – mainstream, pesan nilai kehidupan yang tidak bisa di amini oleh semua pihak umat muslim tentang kehidupan muslimah urban Jakarta dalam memaknai hijab dalam hidup mereka.

            Pertama kali menonton filmnya, aku hanya sekedar menikmati filmnya, kedua kali menonton, aku mulai bertanya, tentang perbedaan berbagai jenis hijab yang di kenakan oleh perempuan indonesia, dari mulai hijab jenis turban, hijab jenis syari, hijab jenis bergo dan lain – lainnya yang sangat fashionable.

Setelahnya aku menonton video podcast milik Deddy Corbuzier yang tayang pada 15 Januari 2020 berjudul “Kontroversi Jilbab, Ibu Sinta Nuriyah mengenang Gus Dur”. Dalam video tersebut, aku menemukan perbedaan mendasar apa arti hijab dan jilbab. Jilbab adalah penutup yang terbuat dari benda tipis seperti kain, sedangkan hijab adalah penutup yang terbuat dari benda keras seperti kayu. (Dalam hati aku sendiri sesungguhnya bertanya, mengapa orang – orang sekarang lebih menyukai menggunakan istilah hijab ya?) Di video itu pula di jelaskan bahwa apabila mengajarkan agama itu boleh – boleh saja menggunakan pendekatan budaya. Contohnya adalah walisongo dan ternyata metode pendekatan itu berhasil. Video ini berhasil menguatkan keyakinanku bahwa hijab (disini aku menggunakan istilah hijab karena mengikuti judul film nya saja ya, meskipun sesungguhnya makna yang ku maksud adalah kain penutup kepala.) bisa memiliki bentuk yang berbeda – beda itu karena adanya pengaruh dari budaya.

Lalu, setelah nonton filmnya untuk yang ketiga kali, aku mengerti bahwa, di Indonesia kini, berhijab bukan lagi milik orang yang agamanya sudah baik saja, tetapi hijab adalah fenomena baru di kalangan masyarakat masa kini yang menggantikan keberadaan sanggul dan konde. Hijab adalah milik semua muslimah, karena dengan menggunakan hijab akan membuat dirinya merasa mampu memahami agama dengan lebih baik lagi. Jadi, bisa disimpulkan bahwa masyarakat yang menggunakan hijab akan memulai awal langkah hijrahnya dengan merubah penampilan menggunakan hijab.

Apabila muncul fenomena bahwa perempuan berhijab tetapi kok masih begini dan masih begitu ya mohon dimaklumi, karena mereka juga sedang dalam proses pada sebuah perjalanan baru, bila ditemukan kesalahan itu wajar, yang penting, setelah kesalahan tersebut, harus berusaha memperbaiki diri, bukan malah sengaja menjerumuskan diri.

            Itu semua tercermin dalam tiap adegan demi adegan, yang ada di film hijab besutan sutradara hanung bramantyo. Berhijab itu bukan akhir, tetapi ia adalah awal dan proses itu sendiri dalam kehidupan. Seberapa panjang atau pendeknya proses tentu tergantung masing – masing manusia. Semua ada tentu untuk menguji kemantapan hati manusia itu sendiri. Apakah ia akan tetap menggunakan hijabnya dan tetap berpegang teguh pada prinsip awalnya menggunakan hijab yakni langkah awal dalam berhijrah menjadi lebih baik atau tidak.

            Sedang bagi saya sendiri, ada satu makna tersirat khusus bahwa menggunakan hijab tak serta merta merubah diri kita serupa dengan orang arab atau malah berusaha mearabisasi diri kita dengan sengaja meninggalkan kebudayaan kita sendiri dan mengikuti semua budaya arab. dan mudah menyalahkan muslimah yang hijabnya dan kehidupan setelah berhijabnya tidak sama seperti dirinya. Hijab, bukan milik orang arab saja, hijab, adalah milik semua perempuan muslimah, hijab adalah identitas seorang perempuan muslimah. Mau menggunakan hijab jenis apapun, selama itu menutupi aurat yang bersangkutan, maka itu sudah cukup.

            Terakhir, sebagai penutup resensi, film ini ingin menjelaskan bahwa sejatinya penampilan seseorang tentu tidak bisa di jadikan tolak ukur bagi keimanan, isi hati dan isi pikiran. Tetapi dari penampilan juga lah, seseorang mampu menjaga batas – batas untuk fisik dan pikirannya sendiri sebagai pijakan awal langkah hijrah berikutnya. Hijab milikmu adalah pijakan awalmu untuk menuju hijrah kehidupan yang selanjutnya. Tidak ada yang benar ataupun salah, segalanya adalah proses, maka biarlah Allah saja yang menentukan hasil atas usaha yang yang kamu lakukan (Mengutip dari ucapan Gus Miftah di video podcast Deddy Corbuzier berjudul “Gus Miftah :Hati – Hati!! Paham Sesat Cross Hijabers Masuk Indonesia!”)

Nina Mau Resensi Film





Selama masa pembatasan sosial berskala besar atau yang biasa disebut dengan PSBB yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia dalam menanggulani penyebaran covid-19 yang meminta masyarakat untuk #dirumahaja dan #workfromhome.

Bagi saya yang sesungguhnya sangat nyaman untuk berada di satu tempat dalam jangka waktu yang lama pun, ternyata tetap tidak bisa menghindarkan diri saya dari perasaan bosan. Mungkin itu semua disebabkan karena berada di satu tempat dalam makna yang sesungguhnya, rumah. sedangkan apabila saya berada di suatu tempat untuk waktu yang lama, tentu saja tidak hanya di rumah saja, saya akan pergi ke suatu tempat dan suatu tempat yang lainnya, masih bergerak, bukan sekadar dapur, ruang tamu, kamar, dan dapur lagi, hehe,

Nah, masalahnya, tidak setiap orang memiliki rumah yang sangat luas dan nyaman seperti rumah Nia Ramadhani, misalnya, sehingga, meskipun di rumah saja namun serasa sedang tinggal di hotel.

Itu sebabnya, kegiatan menonton film secara streaming di aplikasi penyedia layanan nonton film (dalam hal ini, saya menggunakan viu.com sangat menarik sekali.) Setidak –tidaknya membantu mengurangi kadar bosan selama kami tidak bisa kemana – mana.

Saya menemukan beberapa hal menarik dari film yang saya tonton, dan ingin sekali membahasnya, walaupun mungkin, film ini bukan film baru, tetapi ada pesan yang ingin ditujukan kepada penonton.

Untuk itu, di postingan selanjutnya dalam blog ini, akan saya isi resensi film yang sudah saya tonton selama psbb di aplikasi penyedia layanan nonton film streaming, selamat membaca, selamat menikmati J


Selasa, 02 Juni 2020

Ceritaku, Selama PSBB karena Covid 19


Kabar mengenai penyakit baru sebenarnya sudah berhembus sejak bulan Desember 2019 di kota Wuhan di China.

Mulai menarik karena, cara pemerintah kota Wuhan dalam menangani penyakit tersebut kok dengan cara lockdown kotanya dan memaksa warga sekitar untuk karantina di rumah masing - masing.

Sehingga yang terjadi adalah, seluruh kota amat sangat sepi, cenderung seperti kota mati. Tak ada kegiatan pendidikan, bisnis dan lain sebagainya. Semua orang dipaksa untuk tinggal di rumah masing - masing. Untuk masalah pangan dan kesehatan saja yang berhak hilir mudik. Tentu saja dengan dilindungi oleh pakaian khusus bernama baju hazmat yang mirip dengan pakaian astronot plus masker bedah dan sarung tangan, intinya semua tertutup.

Mengapa begitu? Karena penyakit yang berasal dari virus yang konon katanya ditularkan dari binatang primata yakni monyet dan kera ini belum ada obatnya, di lain sisi, penyebarannya amat sangat cepat. 

Sementara ini ditengarai, jaga jarak sosial dan pola hidup bersih sehat adalah satu satunya cara untuk mengendalikan penyebaran penyakit. Menggunakan masker dan mengonsumsi makanan yang menstimulus daya tahan tubuh.

Bulan Januari 2020 sampai Februari 2020, Indonesia masih anteng - anteng aja, meskipun sudah kena dampak lesunya ekonomi dunia. Dimana negara lain sudah mulai berbenah diri sembari mengetatkan protokol kesehatan masing - masing. 

Masuk ke bulan Maret barulah di publish di media tentang warga negara Indonesia yang positif terjangkit virus covid 19. Barulah dari situ Indonesia ikut merasa resah gelisah gundah gulana. 

16 Maret 2020 ketika seluruh masyarakat Indonesia diminta untuk karantina mandiri #dirumahaja. Segala kegiatan perkantoran dan pendidikan langsung di alihkan dikerjakan di rumah. Mulailah istilah #workfromhome atau #wfh, #schoolfromhome atau #sfh banyak di gunakan, meskipun tidak semua perusahaan patuh. Untuk sekolah diminta patuh penuh. Segala bentuk kegiatan belajar mengajar dipindah ke media online semua. Anak - anak serasa mendapat libur sekolah yang amat panjang.

Semakin hari jumlah penderita positif covid 19 di Indonesia semakin banyak, para tenaga media kelimpungan, baru dibuatlah PSBB alias pembatasan sosial berskala besar. Ya kalau kataku ini hampir sama seperti semi lockdown. Dilumpuhkan sementara kotanya demi mengurangi jumlah penularan. 

Sayangnya, kembali lagi mengingat bahwa Indonesia bukanlah negara adidaya, muncullah berbagai protes, dari banyak pihak yang peduli terhadap kaum kecil yang terpaksa kehilangan pekerjaan karena PSBB, menurut mereka seharusnya pemerintah memberi ganti rugi.

Padahal Indonesia tidak punya begitu banyak uang untuk menalangi rakyat miskin yang jumlahnya terlalu banyak.

Sehingga bisa ditarik kesimpulan, bahwa psbb tidak bisa di terapkan secara maksimal di Indonesia sebagai pencegahan penularan penyakit covid 19.
.

Dampak yang terjadi hingga bulan Juni 2020, kasus penderita covid 19 semakin meningkat apalagi di Surabaya yang meskipun menerapkan PSBB dalam 3 jilid namun tidak memberi dampak apapun selain lesunya perekonomian dan penambahan pengangguran.
.

Selama masa PSBB, aku yang dengan terpaksa, harus jadi tahanan rumah, tentu saja sempat merasakan gejolak gangguan psikologis seperti cemas berlebihan, takut berlebihan menghadapi situasi baru ini. 

Lalu aku memutuskan untuk mengisi waktu luang dengan belajar memasak, mencoba berbagai resep baru, yang beberapa sudah aku upload di akun milikku di aplikasi cookpad.

Apabila jenuh, aku mengikuti sebuah challenge yang sedang hits di Instagram yakni #brushchallenge, mengobati rasa rindu pada kegiatan berdandan yang kerap dilakukan apabila akan keluar rumah.

Di samping itu, ternyata ada hikmah juga yang ku petik di masa pandemi penyakit covid 19 ini yaitu, aku berhasil menyelesaikan target mustahil yang kubuat di awal tahun, membaca 50 judul buku. Yang kucatat di akun goodreads milikku. Tentu saja itu semua terjadi berkat bantuan aplikasi i pusnas, aplikasi perpustakaan nasional yang bisa diunduh gratis via play store. Sampai saat cerita ini di tulis, aku sudah berhasil menyelesaikan 48 judul buku. Sungguh merasa bangga pada diri sendiri. Tinggal pr menuliskan review-nya saja yang bikin mulas hehehe.

Gimana ceritamu saat masa pandemi?