Kamis, 04 Maret 2021

Menutup Akhir Tahun 2020 dengan Sakit Corona (Part 2)



Assalamualaikum!!

Alhamdulillah, Finally masih diberi waktu lagi untuk mengupdate btercinta tapi jarang diurus ini wkwk.

Oke, jadi, aku akan melanjutkan ceritaku tentang pengalamanku sakit covid-19.

Cerita part 2, akan dimulai dengan kehidupan pasca dinyatakan NEGATIF Covid-19.


Aku akhirnya dijemput oleh keluarga, pada malam harinya dari pusat karantina Covid-19.

Kondisi yang aku rasakan pada saat itu adalah, badanku masih terasa ngilu, sedikit demam, tapi masih bisa jalan - jalan. Lucu ya? Sudah dinyatakan Negatif tetapi gejala - gejala itu masih muncul.

Lalu, sebelum keluar dari pusat karantina, aku diberi surat keluar, tanda bahwa aku sudah bisa dikembalikan ke tengah - tengah masyarakat karena aku tidak lagi berbahaya dengan menularkan virus.

Ngeri - ngeri sedep nggak tuh? Serasa residivis covid-19 wkwkwk

Namun, dibawahnya, diberikan sebuah catatan, meskipun aku negatif, aku diminta untuk tetap melaksanakan karantina mandiri sekali lagi di rumah, selama 8 hari ke depan.

*
Sesampainya di rumah, aku benar - benr takjub dengan kondisi rumahku yang kotor banget. Bekas boks nasi jatah makanan yang diberikan oleh pemerintah sebagai bantuan bagi warga yang terkena covid-19 menumpuk di dapur.

Jadi begitulah teman - teman pembaca yang budiman, rumah yang digunakan sebagai karantina baik mandiri maupun pusat karantina, situasinya selalu kotor. Kenapa? karena untuk membersihkan ruangan sendiri saja kita sebagai pasien teramat lelah, sedangkan jika kita meminta tolong orang lain, untuk membersihkan tentu tidak semudah jika kita sehat. 

Karena yang membersihkan ruangan juga perlu mawas diri, dengan menggunakan baju hasmat full body, masker dan juga goggles, atau kacamata plastik bening, pokoknya persis mirip astronot.

Jadi, kontradiksi ya, di satu sisi, kita diminta untuk selalu higienis, di satu sisi, ketika sakit, bantuan untuk membersihkan rumah juga tidak semudah itu di dapat, bahkan tetangga juga sangat takut ketika mereka ingin memberi sumbangan susu ke rumahku, mereka hanya meletakkannya di depan pagar rumah dan menelepon ponselku, untuk segera mengambilnya di depan rumah.

Ketika aku keluar rumah dan membuka pagar, tetangganya sudah pulang, hiks.

Intinya, aku sesungguhnya menyarankan untuk setidaknya orang - orang yang melakukan karantina mandiri, diberi bantuan untuk membersihkan lingkungan mereka, tentu saja yang membersihkan rumah juga sudah di bekali peralatan tempur yang mumpuni.

Sungguh, negara ini masih harus berjuang sangat panjang untuk menyelesaikan masalah pandemi ini.
*
Lalu, akhirnya, aku yang kata orang jawa istilahnya, tidak srantan, keesokan paginya, beres - beres rumah. karena aku tidak bisa melihat rumahku kotor begini, sedangkan dua adikku lainnya juga masih positif, dan kedua orangtuaku juga hampir setiap hari merasa demam terus, meskipun mereka negatif, tapi tentu saja mereka kontak erat dengan adik - adikku.

Aku yang merasa diriku sudah negatif, maka berinisiatif untuk membersihkan rumah.

Setelah itu aku menjemur diriku di lapangan depan rumah, mencari sinar matahari, agar imunku tetap baik.
*
Lalu yang terjadi setelahnya, pada siang hari sampai sore harinya, badanku tiba - tiba nyeri kembali di sekujur tubuh, dan demam kembali.

Aku bertanya kepada salah seorang kawanku yang juga punya pengalaman sakit Covid-19 dan berhasil sembuh, Kumaila Hakimah, dia berkata, bahwa sakit covid itu sembuhnya memang lama. Dirinya membutuhkan sekitar 2 bulan untuk khirnya pulih sepenuhnya dari Covid.

Statementnya itu yang membuat aku tenang. Aku berpikir ketika badanku kembali diserang ngilu berkepanjangan ini.

Tiba - tiba, malamnya, aku diserang sesak napas berat.

Sampai badanku dingin semua. Punggungku rasanya sakit banget. Aku kesulitan bernapas. Pada saat itu di kotaku sedang di berlakukan PPKM.

Saat itu sudah pukul 9 Malam kurang. Tidak mungkin aku pergi ke rumah sakit. Ingin pergi ke puskesmas dekat rumah untuk minta bantuan oksigen, ditolak, tetapi aku memahami alasan dibalik penolakan itu, karena untuk kasus sesak napas yang dialami penderita Covid-19, hanya rumah sakit rujukan yang berwenang untuk memberikan tindakan.

Disatu sisi, kita semua sudah mahfum bagaimana cara kerja Rumah Sakit yang birokrasi dan administrasinya begitu berbelit - belit. Bisa - bisa, nyawaku lewat sia - sia akibat birokrasi yang ruwet itu.

Sebab itu kejadian juga di saudara perempuan tanteku, ia akhirnya wafat dengan kondisi sesak napas parah akibat Covid-19 yang disertai 2 komorbid. Ia baru saja mendapat pertolongan ketika nafasnya sudah tinggal satu - satu.

Tidak pandemi saja, birokrasi Rumah Sakit sudah ruwet, apalagi di masa pandemi ini, ya makin ruwet lah. Bangsa ini butuh reformasi birokrasi di dunia kesehatan. Sayang, rasa - rasanya jalan menuju itu sangatlah panjang dan terjal.
*
Akhirnya, untuk menangani sesak napasku, akhirnya, orang tuaku membelikan oksigen kaleng portable yang dijual bebas di apotik. Tentu saja harganya lebih mahal dibanding oksigen yang bentuknya tabung seperti di rumah sakit dan bisa diisi ulang, tetapi itu sebanding dengan harga nyawaku bukan?

Akhirnya aku butuh sekitar 2 Minggu untuk pulih dari pasca sesak napas yang sempat datang menyerang 3 kali di hidupku.

Aku akhirnya menghabiskan setidaknya 8 kaleng oksigen portable. Selama itu, aku tidak mampu berkegiatan yang terlalu banyak dan terlalu lelah, karena, semakin banyak aku bergerak, maka semakin banyak juga oksigen yang dibutuhkan.

Di masa itu juga, aku tidak mampu makan banyak, karena proses mencerna makanan juga membutuhkan oksigen yang banyak. Sedangkan, paru paruku tidak mampu untuk menarik oksigen lebih banyak.

Awalnya, kukira aku menderita kerusakan paru - paru pasca sembuh dari Covid-19, aku sudah membayangkan, seumur hidup akan bergantung dengan oksigen portable dan tidak lagi bepergian jauh. Tidak bisa apply pekerjaan yang menuntut kerja lapangan.

Pada saat itu, aku merasa hidupku sudah berakhir, aku, gadis single, 26 tahun, pekerja freelance dan memiliki gangguan pada paru - paruku.
*
Melihat aku yang sedikit kehilangan semangat, akhirnya orang tuaku membawaku ke sebuah klinik dokter umum langganan saudara sepupuku dan yang merawat mereka sekeluarga ketika mereka juga terserang Covid-19.

Kata dokter umum tersebut, tidak, ini bukan gangguan paru - paru atau serangan Covid-19 kedua. Ini hanya masih adanya suatu bakteri yang masuk ke dalam paru - paruku yang masuk bersamaan dengan virus Covid-19.

Virusnya mati akibat antibodiku dan juga dilawan sama bakterinya, mereka berebut inang di tubuhku.

Namun, bakteri tidak bisa mati hanya dengan antibodi, dia butuh antibiotik.

Maka aku diresepkan 20 biji antibiotik untuk diminum sampai habis, sehari sekali.

Alhamdulillah, setelah obatnya habis, aku merasa jauh lebih enak, tidak lgi mudah lelah, dan penggunaan oksigen juga semakin berkurang.

Penggunaan oksigen kubutuhkan jika dan hanya jika aku stres dan banyak pikiran saja.

Jadi, ya, aku masih stok setidaknya 3 kaleng oksigen di kamarku.
*
Semoga cerita pengalamanku sakit Covid ini, bisa diambil pelajaran bagi semua pembaca ya. Tidak mudah melawan Covid tetapi kita harus tetap berjuang. Semoga kedepan, kita semua, diberi kesehatan, amin.
*
P.S : Sudah teridentifikasi, virus Covid yang bermutasi dan ditemukan di Inggris, yang jauh lebih cepat menular dari sebelumnya, yang ditemukan di Singapura dan juga jauh lebih mematikan.
*
PERJUANGAN DAN PERLAWANAN MASIH PANJANG YA GUYS, SUNGGUH INI MENGUJI MENTAL KITA SEMUA!!! BERTAHAN DAN JANGAN LENGAH!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar